Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang
muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam keadaan soal
jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk lahiriyahnya dan sebagainya.
Caranya-pun bermacam-macam. Di antaranya dengan membeberkan aib, menirukan
tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud
mengolok-ngolok.
Ghibah adalah perbuatan dosa besar, yang bahkan Allah menyamakan orang yang melakukan ghibah
dengan orang yang memakan bangkai saudaranya, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka
(kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan
(ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)
Meskipun demikian, ada sebagian ghibah yang diperbolehkan atau
bahkan disyariatkan. Karena dengan cara itulah pemahaman agama ini akan selamat
dari penyimpangan dan kesesatan. Dalam kesempatan ini kita akan sedikit
mengkaji persoalan ini, agar kita bisa membedakan mana nasihat dan mana ghibah
yang terlarang.
Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan
sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, demikian pula
Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il bin Al-’Allaa’ menceritakan
hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam
bersabda:
أَتَدْرُونَ مَا
الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا
يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ
فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan
Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang
saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu
bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya
ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu
sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata
tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya
(berbuat buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil
dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah itu diharamkan, sedikit
maupun banyak. Di dalam Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadits yang
diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata:
حَسْبُكَ مِنْ
صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ
قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata
Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat
hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh engkau telah
mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka
niscaya akan merubahnya.”
Di dalam dua
Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat riwayat hadits dari jalan Abu
Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي
شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga
kehormatan kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari
kalian ini (hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang suci
ini.”
Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits
dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai segenap
manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke
dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah
melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka.
Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya
sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan
barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan,
meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum dalam Shahihul
Musnad, 1/508)
Di dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari Anas
bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari
tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka
sendiri. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab,
‘Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta
menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.” (Hadits ini Shahih) (Nashihati
lin Nisaa’, hal. 26-27)
Dalam Al Qur’an (QS 49:12), orang yang suka meng-ghibah diibaratkan
seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Jabir bin Abdullah ra.
meriwayatkan, “Ketika kami bersama Rasululloh saw tiba-tiba tercium bau busuk
yang menyengat seperti bau bangkai. Maka Rasul pun bersabda, “Tahukah kalian,
bau apakah ini? Inilah bau dari orang-orang yang meng-ghibah orang lain”. (HR
Ahmad) .
Begitulah ALLAH mengibaratkan orang yang suka mengghibah dengan
perumpamaan yang sangat buruk untuk menjelaskan kepada manusia, betapa buruknya
tindakan ghibah. Banyak kesempatan bagi ibu-ibu untuk menggosip. Pada saat
berbelanja mengelilingi gerobak tukang sayur, menyuapi anak di halaman, pada
acara arisan atau kumpulan ibu-ibu. Meng-ghibah kadang mendapat pembenaran
dengan dalih, “Ini fakta, untuk diambil pelajarannya!”. Padahal di balik itu
lebih banyak faktor ghibahnya daripada pelajarannya.
Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu
yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Riba itu ada tujuh puluh
dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang
menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan
seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya". (As-Silsilah As-Shahihah,
1871).
Wajib bagi orang yang hadir dalam majlis yang sedang menggunjing
orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang
dipergunjingkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam amat menganjurkan hal
demikian, sebagaimana dalam sabdanya. "Artinya : Barangsiapa menolak
(ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan
menolak menghindarkan api Neraka dari wajahnya". (Hadits Riwayat Ahmad,
6/450, hahihul Jami'. 6238)
Segala puji
bagi Allah yang telah menciptakan jin dan
manusia untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpah
kepada Nabi Muhammad yang telah bersabda:
من كان يؤمن
بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang
baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Beberapa ulama membolehkan ghibah untuk tujuan yang benar dan
disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah
tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara :
1. Mengajukan
kedzaliman yang dilakukan oleh orang lain.
Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengajukan yang
mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang
yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili si dzalim itu. Orang
yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan (menyebutkan namanya) itu telah
mendzalimi/menganiaya diriku.
2. Meminta
pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa
kepada kebenaran.
Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia
harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu,
maka dengan demikian dia akan menasehatinya dan melarangnya berbuat jahat.
Maksud ghibah disini adalah merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak
bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.
3. Meminta
fatwa
Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku atau
saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal ini boleh? Bagaimana
jalan keluarnya? dll. Ghibah seperti ini boleh karena suatu kebutuhan/tujuan
(yang syar’i-pent). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (personnya/namanya)
semisal: Bagaimana pendapat Syaikh tentang seorang suami atau ayah yang begini
dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang
diinginkan meskipun tanpa menyebut nama/personnya.
4. Memperingatkan
kaum Muslimin dari bahaya kesesatan (seseorang/kelompok-pent) dan sekaligus
dalam rangka saling menasehati.
Yang demikian
itu mencakup beberapa hal:
5. Menyebutkan
aib orang yang menampakkan kefasikan dan bid’ahnya.
Misalkan orang yang bangga meminum khomer, menganiaya orang lain,
merampas harta dan melakukan hal-hal yang batil. Boleh bagi orang yang
mengetahui keadaan orang di atas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar orang lain
berhati-hati darinya-pent).
6. Mengenalkan
orang lain dengan menyebut gelar (laqob) nya yang sudah terkenal.
Misalnya Al-A’masy (yang cacat matanya), Al-A’raj (yang pincang),
Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya. Boleh mengenalkan dengan julukan-julukan di
atas tapi tidak untuk mencela/mengejeknya dan seandainya mengenalkan tanpa
menyebutkan julukan-julukan tersebut ini lebih baik.
Inilah keenam perkara yang disebutkan oleh para ulama (dalam
membolehkan ghibah-pent) kebanyakannya telah disepakati dan dalil-dalil keenam
perkara tersebut ada dalam hadits-hadits shohih yang sudah masyhur/terkenal,
diantaranya:
(Keenam perkara tersebut di atas disampaikan oleh Imam Nawawi, salah
seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H mengatakan dalam
kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “Penjelasan ghibah yang dibolehkan”).
7. Membicarakan
para perawi hadist
Imam Abu Isa (At-Tirmidzi) berkata: “Sebagian orang yang tidak paham
akan (agama ini) mencela para ahli hadits dalam ucapan mereka tentang
perawi-perawi hadits.
Sungguh kita telah mendapati banyak dari para Imam dari kalangan
tabi’in membicarakan (menggunjing/mencela) para perowi diantara mereka adalah
Hasan Al-Bashri & Thowus mereka berdua mencela Ma’bad al-Juhani, Sa’id bin
Jubeir membicarakan Tholq bin Habib, Ibrahim an-Nakho’i dan Amir asy-Sya’bi
membicarakan al-Harits al-A’war. Demikian pula yang diriwayatkan dari Ayyub
as-Sakhtiyani, Abdullah bin ‘Aun, Sulaiman at-Taimi, Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan
ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-’Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Sa’id
al-Qoththon, Waki’ bin Jarrah, Abdurrohman bin Mahdi dan selain mereka dari
para ahli ilmu, mereka semua pernah membicarakan para perawi-perawi dan
mendhoifkannya.
(Imam Ibnu
Rajab Al-Hambali v mengatakan dalam kitab “Syarh ‘ilal At-Tirmidzi” 1/43-44).
8. Pelaku
maksiat yang menceritakan sendiri kemaksiatannya.
“Semua umatku akan diampuni (tidak
boleh dighibah) kecuali orang yang melakukan kemaksiatan dengan
terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk melakukan kemaksiatan dengan
terang-terangan, yaitu seseorang yang melakukan perbuatan (kemaksiatan) pada
waktu malam dan Allah telah menutupinya (yakni, tidak ada orang yang
mengetahuinya, Pent), lalu ketika pagi dia mengatakan : “Hai Fulan, kemarin aku
melakukan ini dan itu”, padahal pada waktu malam Allah telah menutupinya, namun
ketika masuk waktu pagi dia membuka tirai Allah terhadapnya” [HR Al-Bukhari,
no. 6069, Muslim no. 2990, Pent]
9. Pengutang
yang mampu tapi menunda pembayaran hutangnya.
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya
memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah S.w.t. memerintahkan agar kita
menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru
tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah S.w.t. berfirman.
“Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” [An-Nisa : 58].
Dari Abu
Hurairah r.a., ia berkata, telah bersabda Rasulullah s.a.w. :
“Sekalipun
aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih
dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari
no. 2390].
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang
tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya :
a. Berhak
mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah r.a. berkata. : “Seseorang menagih hutang kepada
Rasulullah s.a.w., sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para sahabat
hendak memukulnya, maka Nabi s.a.w. berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si
empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan
kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali
yang lebih bagus dari untanya”. Nabi s.a.w. bersabda, “Belikan untuknya,
kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling
baik dalam pembayaran”.
Imam Dzahabi
mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa
besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20
b. Berhak
dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, telah bersabda Rasulullah s.a.w.
: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”
Dalam riwayat lain Nabi s.a.w. bersabda. : “Menunda pembayaran bagi
yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) kehormatannya”.
Demikian sedikit penjelasan mengenai ghibah dan ghibah yang
dibolehkan. Semoga bermanfaat. Wallahua’alam.
Batasan ghibah yaitu jika
engkau memperbincangkan apa – apa yang
jika hal itu didengar atau sampai ketelinga saudaramu ia merasa tidak
senang, baik itu mengenai badan, nasab, perilaku, perbuatan ucapan atau dalam
urusan agamanya, bahkan sampai pakaian yang ia kenaka, rumah tinggalnya dan
kendaraannya.
Misalnya
anda mengatakan : pendek, tinggi, hitam, pucat dan segala sebutan yang
menggambarkan atau mensifati hal – hal yang dibencinya apapun bentuknya. Adapun
dalam nasab – nasab anda katakana misalnya “ bapaknya seorang bule, India,
Fasiq, hina, tukang kopi, tukang sampah atau segala hal yang ia tidak suka.
Sedang dalam prilaku sebagai misal anda mengatakan : Dia akhlaknya jelek,
bathil, sombong, emosional (pemarah), pengecut, lemah, sentiment, dan apa saja
yang menjurus kearah situ.
Kemudian
contoh ghibah tentang perbuatan seseorang berkaitan dengan Dien seperti anda
mengucapkan, dia pencuri, pendusta, peminum khamar, pengkhianat, dzalim,
meremehkan shalat, zakat, tidak membaguskan ruku’ dan sujud, tidak berhati –
hati dari najis, tidak berbakti kepada kedua orang tuanya, membayar zakat tidak
ditempatnya atau membaginya tidak adil, tidak menjaga puasnya dari ucapan keji,
ghibah dan memperbincangkan kehormatan (aib) sesama manusia.
Dan mengenai perbuatannya
yang berkaitan dengan urussan dunia, umpamanya kita mengatkan : “ia tidak punya
sopan, meremehkan orang, tidak bisa melihat kebaikan orang, menganggap dirinya
paling, banyak bicaranya, banyak tidur diluar waktunya, duduk bukan
ditempatnya, dll. Kemudian dalam hal pakaian anda katakana : “bajunya lebar,
kepanjangan, atau pakaiannya kumuh, compang – camping.
Rasulullah sendiri telah memberikan definisi ghibah dalam haditsnya, bahwa beliau bertanya kepada para sahabat: “Tahukah kalian semua, apakah yang di maksud dengan Ghibah! Mereka (para sahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Maka beliau bersabda: “Ghibah yaitu kalian menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Kemudian ditanyakan: “Bagaimana pedapat anda jika apa yang saya ucapkan memang benar adanya? Nabi menjawab: “Jika apa yang engkau katakan memang benar adanya maka kamu telah melakukan Ghibah terhadapnya, dan jika apa yang kamu katakan tidak benar adanya maka berarti kamu telah menuduhnya dengan berdusta atasnya. (HR. Muslim)
Penyakit yang satu ini begitu mudahnya terjangkit pada diri
seseorang. Bisa datang melalui televisi, bisa pula melalui kegiatan arisan,
berbagai pertemuan, sekedar obrolan di warung belanjaan, bahkan melalui
pengajian. Untuk menghindarinya juga tak begitu mudah, mengharuskan kita ekstra
hati-hati, caranya :
1. Berbicara
Sambil Berfikir
Cobalah untuk
berpikir sebelum berbicara, “perlukah saya mengatakan hal ini?” dan kembangkan
menjadi, “apa manfaatnya? Apa mudharatnya?” Berarti, otak harus senantiasa
digunakan, dalam keadaan sesantai apapun. Seperti Rasululloh saw yang biasanya
memberi jeda sesaat untuk berfikir sebelum menjawab pertanyaan orang.
2. Berbicara
Sambil Berdzikir
Berzikir di
sini maksudnya selalu menghadirkan ingatan kita kepada ALLOH swt. Ingatlah
betapa buruknya ancaman dan kebencian ALLOH kepada orang yang ber-ghibah.
Bawalah ingatan ini pada saat berbicara dengan siapa saja, di mana saja dan
kapan saja. (jadi, bukan coca cola saja yg punya slogan ini…xi xi xi…)
3. Tingkatkan
Rasa Percaya Diri
Orang yang
tidak percaya diri, suka mengikut saja perbuatan orang lain, sehingga ia mudah
terseret perbuatan ghibah temannya. Bahkan ia pun berpotensi menyebabkan
ghibah, karena tak memiliki kebanggaan terhadap dirinya sendiri sehingga lebih
senang memperhatikan, membicarakan dan menilai orang lain.
4. Buang
Penyakit Hati
Kebanyakan
ghibah tumbuh karena didasari rasa iri dan benci, juga ketidakikhlasan menerima
kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung daripada kita.
Dan kalau dirinya kurang beruntung, diapun senang menyadari bahwa masih banyak
orang lain yang lebih sengsara daripada dirinya.
5. Posisikan
Diri
Ketika sedang
membicarakan keburukan orang lain, segera bayangkan bagaimana perasaan kita
jika keburukan kita pun dibicarakan orang. Seperti hadis yang menjanjikan bahwa
ALLOH akan menutupi cacat kita sepanjang kita tidak membuka cacat orang lain.
Sebaliknya tak perlu heran jika ALLOH pun akan membuka cacat kita di depan
orang lain jika kita membuka cacat orang.
6. Hindari,
Ingatkan, Diam atau Pergi
Hindarilah
segala sesuatu yang mendekatkan kita pada ghibah. Seperti acara-acara bernuansa
ghibah di televisi dan radio. Juga berita-berita korandan majalah yang
membicarakan kejelekan orang. Jika terjebak dalam situasi ghibah, ingatkanlah
mereka akan kesalahannya. Jika tak mampu, setidaknya Anda diam dan tak
menanggapi ghibah tersebut. Atau Anda memilih hengkang dan `menyelamatkan diri.
Ada sebuah riwayat dimana Sofia bercerita kepada Rasulullah SAW
tentang orang lain dengan sebutan-sebutan yang pada dasarnya ghibah. Rasul
kemudian menghentikan cerita Sofia :
“Cukuplah Sofia, tak perlu kamu lanjutkan!”. Rasul kemudian mengatakan kepada Sofia bahwa ghibah
memiliki dampak sangat dahzyat dan ibaratnya bila diteteskan di lautan yang
maha luas maka ghibah tersebut bisa merubah total dzat lautan tersebut.
…ghibah memiliki
dampak sangat dahzyat dan ibaratnya bila diteteskan di lautan yang maha luas
maka ghibah tersebut bisa merubah total dzat lautan tersebut.
Imam Nawawi
menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1. Dari ‘Aisyah
radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang
meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:
ائْذَنُوا لَهُ
بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ
الْعَشِيرَةِ
“Ijinkanlah
dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.”
(Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi
berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya
mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.
2. Dari ‘Aisyah
pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَا أَظُنُّ
فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا
رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين
“Aku kira
si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini
berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”
3. Dari
Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:
إَنَّ أَبَا
جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ
فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا
أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ
عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار
“Sesungguhnya
Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak
berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat
dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun
Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran
dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah:
orang yang banyak bepergian.
4. Dari Zaid
bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
خرجنا مع رَسُول
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد
اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا
إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما
فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في
نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين
1 (ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم
(مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Kami pernah
berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu
perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka
Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang
ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.”
Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang
kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun
mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia
justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya,
maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti
sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku,
“Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau
berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan
kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)
5. Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
قالت هند امرأة
أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس
يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك
بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Hindun
isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku
sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja
kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.”
Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak
bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar